top of page
Search

Peningkatan Kesadaran Masyarakat terhadap Kelestarian Kearifan Lokal DusunNgunan-unan tentang Gejog

  • eduekowisatanarend
  • Jul 29, 2023
  • 8 min read

Oleh: Oktavia Anggie Cantika

ree

Bangsa Indonesia memiliki aneka ragam bentuk kesenian tradisional yang tumbuh di

daerah-daerah dan mempunyai ciri khas tertentu. Keanekaragaman tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan adat istiadat antara satu daerah dengan daerah yang lain. Keanekaragaman bentuk kesenian tradisional merupakan aset kebudayaan negara Indonesia. Keanekaragaman budaya inilah yang menjadi ide dan gagasan untuk memperkuat identitas daerah yang mampu melahirkan kesenian tradisional. Dalam kesenian berkembang ide dan pemikiran dari masyarakat dengan latar belakang tradisi kebudayaan. Seiring dengan kemajuan teknologi di era globalisasi ini, maraknya pengaruh kebudayaan modern yang masuk ke dalam kebudayaan asli dapat membawa dampak buruk bagi keberadaan kebudayaan asli Indonesia termasuk kesenian tradisional.


Desa Srigading merupakan salah satu desa dari total 4 desa yang berada di Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul yang memiliki luas wilayah sebesar 7,58 km2. Desa Srigading berdiri pada tanggal 18 Desember 1946 yang merupakan gabungan dari 4 kelurahan yaitu Kelurahan Kalidjurang, Kelurahan Sabrahah, Kelurahan Pugeran, dan Kelurahan Gunung Wingko. Desa Srigading terbagi menjadi 20 padukuhan, diantaranya adalah Padukuhan Edongan, Ceme, Celep, Tinggen, Bonggalan, Kalijurang, Ngunan-unan, Wuluhadeg, Wirosutan, Srabahan, Gokerten, Sangkeh, Malangan, Dengokan, Dodogan, Ngemplak, Ngepet, Tegalrejo, Cetan, dan Sogesanden. Secara topografis Desa Srigading termasuk dataran rendah dengan ketinggian 2-10 meter di atas permukaan laut dan tergolong dalam kategori desa pantai. Penduduk Desa Srigading memanfaatkan pengairan dari sungai Winongo yang melewati Desa Srigading.


Kembali pada bahasan awal yakni kesenian Gejog Lesung yang baru satu tahun dihidupkan kembali setelah sekian lama ditinggalkan. Kesenian ini berasal dari suara alu dan lumpang. Alu berupa tongkat yang terbuat dari bahan kayu glugu (pohon kelapa) dan berfungsi sebagai pemukul, sedangkan lumpang terbuat dari kayu nangka berbentuk menyerupai perahu dan berfungsi untuk menampung ikatan-ikatan padi yang akan ditumbuk.


Gejog Lesung dahulunya berfungsi untuk menumbuk padi. Namun, seiring dengan kemajuan zaman, Gejog Lesung tidak lagi digunakan untuk menumbuk padi seperti zaman dulu sebelum ada alat untuk menggiling padi. Para petani memanfaatkan suara alu dan lumpang ini sebagai iringan bernyanyi penghilang rasa lelah. Iringan bernyanyi itulah yang hingga kini dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Gejog Lesung, kesenian yang hampir punah di masyarakat yang mayoritas penduduknya sebagai petani.3


Ciri khas dari kesenian Gejog Lesung adalah adanya alu dan juga lesungnya. Alu adalah alat yang terbuat dari kayu untuk menumbuk padi, sedangkan lesung adalah tempat yang berbentuk mirip perahu digunakan untuk memisah padi dengan tangkainya. Kata Gejog Lesung berasal dari kata “Gejog” yang dalam bahasa jawa memiliki arti tumbuk (ditutu -Bahasa Jawa). Gejog tersebut dimaksudkan adanya proses menumbuk padi dengan memukulkan Alu ke bagian badan Lesung. Suara yang dihasilkan dari pukulan ajlu ke lesung itu secara berirama memiliki letak kesenian tersendiri, dalam hal ini dilakukan sekitar 5-6 orang untuk terwujudnya variasi dari suara tersebut. Kini suara tersebut dipadukan dengan nyanyian tradisional yang dibawakan secara berkelompok.


Kemudian seiring berkembangnya zaman, maka mulai terkikisnya pula pengetahuan seseorang mengenai apa itu kesenian yang perlu dilestarikan, khususnya keseninan Gejog

Lesung ini tentang bagaimanakah cara menumbuh padi yang dilakukan secara tradisional. Hal demikian dapat terjadi karena dinilai kurang efektif untuk dilakukan apabila dilihat dari

pengerjaan yang memakan cukup banyak waktu, sehingga petani lebih memilih menggunakan alat-alat yang terbuat dari mesin. Dengan kecanggihan teknologi tersebut, maka tidak akan membuang waktu dan tidak membuang banyak tenaga.


1. Sejarah Lahirnya Kesenian Gejong Lesung

Kesenian gejog lesung merupakan salah satu kesenian tradisional yang lahir di tengah masyarakat dengan latar belakang sebuah pertanian. Kesenian ini tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi pada suatu daerahnya masing-masing. Pada zaman dahulu, kesenian ini merupakan sebuah seni yang lahir sejak adanya lesung dan digunakan oleh kaum ibu-ibu petani untuk menumbuk padi secara tradisional. Tangkai padi yang telah kering tersebut diletakan di setiap panen raya telah tiba, kemudian dilakukan secara bersama-sama sehingga memunculkan kebersamaan dan juga irama yang tersendiri.


Gejog Lesung tidak lepas dari keberadaan Dewi Sri/Dewi Padi. Betara Kala Rahu/Raksasa Besar ingin mendekati Dewi Sri dan menjadikan Dewi Sri istri, tetapi pada saat itu Dewi Sri menolak untuk menikah dengan Betara Kala Rahu. Betara Kala Rahu meminta Dewa Wisnu untuk mengubahnya menjadi manusia, tetapi Dewa Wisnu mengetahui maksud dari Betara Kala Rahu. Dewa Wisnu tidak mengizinkan Betara Kala Rahu untuk menjadi manusia karena maksud Betara Kala Rahu adalah untuk merusak dunia. Betara Kala Rahu saat itu berjanji tidak akan merusak dunia, melainkan ingin berdekatan dengan Dewi Sri. Lebih lanjut, Dewa Wisnu mengubah Betara Kala Rahu menjadi Lesung dan di kirim ke pelosok desa dimana Dewi Sri tinggal. Lesung yang ada di desa Dewi Sri dimanfaatkan oleh penduduk untuk menumbuk padi. Warga pedesaan tersebut mempercayai bahwa suara yang dikeluarkan adalah tangisan dari Betara Kala Rahu serta membentuk sebuah pola ritme dan sampai saat ini dikenal dengan Kesenian Kotekan Gejog Lesung.


Di samping itu, menurut cerita versi lain mengatakan bahwa Lesung tersebut dahulunya di pedesaan kecil, hidup seorang bidadari dan ayahnya yang hidup seadanya dan pas-pasan. Suatu hari, bidadari itu memasak nasi, tetapi beras yang dimasak bukan beras pada umumnya, melainkan padi yang masih ada kulit padinya. Kemudian dimasukkanlah padi tersebut dalam kukusan untuk memasak nasi. Pada saat itulah bidadari berpesan kepada ayahnya supaya tidak membuka kukusan yang penuh dengan padi. Bidadari juga berpesan dengan ayahnya jika kukusan tersebut dibuka, maka padi yang dikukus tidak akan menjadi nasi, melainkan tetap berwujud padi. Sesudahnya berpesan, bidadari berpamitan kepada ayahnya untuk mandi di sungai yang berada di dekat rumahnya. Saat bidadari mandi, bidadari digoda oleh pria yang ingin mendekatinya dengan cara menyembunyikan pakaiannya. Disitu bidadari sangat kebingungan dan saat itu pula bidadari mengatakan dan berjanji kepada dirinya sendiri, jika yang menemukan pakaiannya itu wanita akan dijadikan teman sejati, tetapi jika yang menemukan pria akan dijadikan suami.


Ternyata pria yang menyembunyikan pakaian tersebut mendengar perkataan bidadari. Selanjutnya pria tersebut langsung menghampiri bidadari dan mengatakan “apakah ini baju yang anda cari bidadari?” Bidadari kaget dan mengatakan “iya, itu baju yang saya cari, dimana anda menemukan baju itu?” Kemudian Pria itu menjawab, “bajumu aku temukan terbawa arus di sebelah sana.” Lalu bidadari berkata, “karena aku sudah berjanji, aku akan meminta kamu menjadi suamiku.” Setelahnya bidadari mengajak pria tersebut untuk pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari sungai.


Sesampainya di rumah, bidadari dikejutkan dengan keadaan kukusan yang penuh dengan padi. Bukan menjadi nasi melainkan padi. Kemudian bidadari bertanya kepada ayahnya apakah benar bahwa ayahnya yang membuka kukusan tersebut. Namun faktanya, memang benar bahwa ayahnyalah yang membuka kukusan itu. Tanpa disangka, pria yang diajak oleh bidadari tersebut memiliki ide untuk membuat Lesung dan Alu sebagai alat untuk membersihkan padi dari kulitnya agar menjadi beras yang diinginkan bidadari. Kemudian seiring berkembangnya zaman, Lesung tersebut digunakan oleh para petani untuk menumbuk padi, seperti yang dilakukan oleh bidadari untuk membersihkan padi agar menjadi beras.


Cerita-cerita tersebut ditegaskan pula oleh sang narasumber, yakni dengan pemikiran dan jawaban sebagai berikut.


“Kita istilahnya pernah pentas di Ambarukmo serta di Amplaz dan itu melibatkan generasi muda dan generasi tua, sehingga disitu kita merasakan betapa nikmatnya kalau antara yang tua dan yang muda itu bisa berkolaborasi dengan menggunakan alunan lesung tersebut.”


Adapun menurut data wawancara yang telah dilakukan dan dikembangkan oleh penulis, lahirnya kesenian ini pada Desa Ngunan-Unan diperkuat dengan pertanyaan yang diajukan, yakni bagaimana tradisi ini dimulai, kemudian narasumber menjawab demikian:


“Gejog lesung merupakan kesenian tradisional yang ada sejak zaman kakek nenek kita zaman dahulu. Tempo dulu itu kalau orang-orang tua menumbuk padi pakai lesung. Kemudian lama-lama karena itu sudah tidak digunakan lagi, lesung itu akhirnya dibuat semacam permainan yaitu gejog lesung. Jadi, lesung itu ditabuh biar ada bunyinya. Serta yang menabuh itu tidak hanya satu atau dua orang. Dengan demikian, bermacam-macam posisi ketukannya itu kalau dikumpulkan antara orang yang satu dengan orang yang lain akan menjadi suatu kesenian yang sangat baik yang bisa dinikmati oleh siapa saja yang mendengarkan alunan daripada ketukan lesung tersebut. Kemudian untuk yang di Ngunanunan sendiri itu gejog lesung-nya berdiri pada tanggal 11 Novemver 2011. Kenapa memilih tanggal itu, karena tanggal 10 November adalah hari pahlawan. Jadi, kita sinkronkan dengan budaya zaman dulu untuk mengenang para petani zaman dulu yang menggunakan lesung untuk menumbuk padinya, maka kami dari grup gejog lesung Ngunan-unan mengadakan grup tersebut atau latihan gejog lesung tersebut. Kemudian secara aklamasi telah dipilih nama, namanya itu adalah “Gejog Lesung Candra Wirama”, “candra” itu artinya adalah bulan, dan “wirama” itu adalah irama. Jadi, setiap bulan kita mengalunkan irama yang diambil dari bunyi lesung tersebut, sehingga akan menghasilkan nada yang indah yang bisa didengarkan oleh orang lain. Ternyata gejog lesung juga merupakan kesenian tradisional yang bisa mengiringi, artinya bisa mengiringi atau bisa dikolaborasi dengan nyanyian-nyanyian, baik itu nyanyian jawa, nyanyian keroncong, serta nyanyian versi modern. Kemudian di samping itu, juga bisa mengiringi tarian, misalnya suatu lagu yang judulnya Lesung Jumengglung, nah itu bisa dihiasi dengan tarian yang menggambarkan dengan Lesung Jumengglung tersebut. Kemudian itu juga bisa dibuat semacam fragmen, misalkan kalau orang jawa itu ada lakon bawang merah dan bawang putih, nah itu iringannya pakai bunyi-bunyi dari lesung tersebut.”


Lebih lanjut disambung dengan penulis menanyakan terkait bagaimana proses pembuatan

alat-alat tersebut yang kemudian dipergunakan sebagai kesenian Gejog Lesung, yakni sebagai berikut.


“Pembuatan lesung itu kita ambil dari daerah wonosari, jadi kalau disana itukan dulu banyak hutan jati. Nah diambil dari salah satu pohon yang besar yang ada di daerah sana dan dibikin batang yang paling bawah yang namanya tunggak, nah itu dilubangi dan ditata dan akhirnya dibentuk semacam lesung yang ada lubang panjang dan ada lubang kecilkecil bunder-bunder itu. Kalau yang besar itu untuk menumbuk padi yang utama, kalau yang kecil untuk memutihkan beras.”


2. Tantangan dan Upaya untuk Melestarikan Kesenian Gejog Lesung

Kedudukan generasi muda sangat diharapkan menjadi unsur penunjang bagi eksistensi budaya lokal meskipun selalu tergerus arus globalisasi. Melalui peran aktif generasi muda pada kesenian Gejog Lesung, dapat melatih anak untuk melestarikan kesenian tradisional Dusun Ngunan-Unan, serta dapat melatih kekompakan dan menumbuhkan rasa kebersamaan sesama.


Adapula alasan dalam mengikutsertakan generasi muda guna mengubah pandangan

masyarakat setempat terhadap Gejog Lesung. Interpretasi masyarakat terhadap Gejog Lesung masih kurang menarik karena Gejog Lesung dianggap sebagai kesenian kuno. Dengan melibatkan generasi muda di dalamnya hendaklah memberikan pandangan baru terhadap kesenian Gejog Lesung yang sebenarnya tidak hanya disuguhkan bagi orang tua saja, tetapi semua kalangan dapat berperan aktif di dalamnya serta dapat menikmatinya. Melalui kegiatan tersebut pula diharapkan dapat mengembangkan kesenian Gejog Lesung dan tetap melestarikan kesenian tersebut. Kemampuan atau keterampilan perempuan perlu dilatih demi mewujudkan kesejahteraan ekonominya. Melihat fenomena tersebut menarik jika mengangkat salah satu budaya lokal sebagai sumber potensi untuk bisa dioptimalkan. Salah satunya adalah gejog lesung. Gejog Lesung merupakan sebuah jenis seni tradisi yang berbentuk musik. Keberadaan gejog lesung sudah hampir punah karena tidak lagi menarik untuk dinikmati bagi kaum milineal. Akan tetapi, semua itu sirna setelah kita kaji dengan data bahwa masih ditemukan komunitas kesenian gejog lesung di Desa Ngunan-unan.


Seperti yang telah ditanyakan oleh penulis sebagai pewawancaa, yakni terkait tantangan di era modern dalam melestarikan kesenian ini, menurut pemikiran serta pendapat dari narasumber adalah sebagai berikut.


“Wah tantangannya sulit karena kalau anak-anak yang zaman sekarang itukan kalau diajak berkesenian lokal itu pada kurang tertarik. Tetapi alhamdulillah kalau di Ngunan-unan ini kami melibatkan ibu-ibu yang regenerasi, jadi ada yang di sma, smk, smp, guru, dan macam-macam kita sedikit-sedikit kita masukkan untuk nantinya kita jadikan sebagai penerus kesenian gejog lesung.”


Adapun sebenarnya dalam kesenian ini memiliki manfaat, yang kemudian penulis tanyakan hal tersebut kepada narasumber, yakni dengan jawaban sebagai berikut.


“Tentunya bagi kaula muda atau bagi pendengar lesung ini merupakan salah satu upaya untuk melestarikan kesenian lokal, kesenian yang sudah ada sejak zaman dahulu. Jadi istilahnya, katanya kalau kita nguri-uri kabudayan jawi itu lebih baik daripada kalau kita mengambil budaya dari asing.”


Berangkat dari uraian yang telah penulis uraikan di atas, kebudayaan lahir dari hasil kebiasaan dan pola hidup yang ada di masyarakat dan saling berinteraksi antara satu dengan lainnya melalui proses dalam kurun waktu yang cukup lama serta dengan latar belakang yang berbeda, sehingga menjadi suatu kesatuan dari berbagai bentuk yang konstan. Dengan latar belakang yang berbeda itulah menjadi suatu kekayaan yang kompleks, hal ini termasuk pula pada kesenian musik. Musik itu sendiri memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian budaya. Apalagi dalam hal ini, yakni musik tradisional gejog lesung yang kini sudah susah dan jarang ditemukan, kecuali dibeberapa tempat saja, khususnya di Pulau Jawa. Dengan melestarikan kesenian Gejog Lesung dan budaya lokal lainnya, kita dapat mempertahankan identitas budaya kita, menghormati warisan nenek moyang, dan terus mengembangkan kesenian tradisional bagi generasi yang akan datang.

 
 
 

Comments


bottom of page